2 February 2014

The Act of Becoming

Semua orang sedang bicara tentang The Act of Killing, apalagi setelah film ini masuk nominasi Oscar. Pemerintah masih diam. Ada pernyataan tidak resmi. Menyebalkan, tetapi mudah ditebak. Pesta demokrasi yang akan datang menjadi pertaruhannya, relasi tokoh di balik pemberantasan komunisme dengan keluarga pertama di negeri ini, dan kisah sejarah yang semua orang tahu tapi tidak pernah mau akui sudah cukup jadi alasan.

Saya mengunduh film ini dengan gratis lewat situs Oppenheimer yang aksesnya dibuka untuk mereka yang berdomisili di Indonesia. (He must've known that the only way to get the movie known by the people who needed to know, for the words to spread and reached the people who needed to make a stance, for the country to make a stance and dealt with the past - is to use the media we love the most: free torrent.) Waktu pertama kali menonton film ini, saya tidak bisa langsung menyelesaikannya. Rasanya campuran intensitas sejarah dan rasa jengah dengan karakter di dalamnya. Rasanya juga referensi keluarga saya tentang tahun 1965 yang memang selalu buram menambah referensi emosi. Keluarga saya punya darah Cina (atau Tionghoa? I don't even know the politically and socially correct way to refer myself). Saya yakin mereka terpengaruh cukup besar. Tapi, menjadi orang keturunan Tionghoa di masa itu -  ketika perayaan Imlek dilarang, pergi ke klenteng harus diam-diam, dan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia jadi kewajiban walaupun lahir di Indonesia - membuat mereka tidak bicara banyak. Lagipula, keluarga besar saya tidak punya latar belakang pergerakan. Mereka pandai besi di daerah Mangga Dua. Keahlian kakek-kakek saya: menempa baja.

Hal pertama yang selalu mereka ceritakan tentang masa 1965 adalah bahwa adik ibu saya masih bayi. Setiap malam, tante saya menangis dan harus ditenangkan sambil menyalakan lilin, padahal waktu itu ada jam malam; jadi setiap malam juga mereka harus takut-takut ada gedoran di pintu karena patroli tidak suka dengan keributan yang timbul. Rasa-rasanya, kalau digedor dan diketahui ada sekumpulan orang Cina di dalam - walaupun kombinasinya dua orang tua dan tiga anak kecil - itu alasan yang cukup untuk setidaknya menculik kakek saya sebagai komunis.

Komunis, itu hal yang justru tidak pernah diceritakan banyak. Nenek saya cerita, kalau tetangga mereka ada yang pernah dikejar dari Stasiun Kota sampai Mangga Dua karena dituduh komunis. Pengejaran sering terjadi di depan rumah, lalu terjun ke sungai kecil yang ada dekat Mangga Dua, lalu membenamkan diri sampai patroli yang mengejar lewat. Kadang mereka selamat karena patroli langsung pergi setelah kehilangan jejak, lain waktu ada mayat ditemukan mengambang. Rupanya patroli terus mencari sampai pagi, jadi yang bersangkutan tidak bisa (baca: berani) untuk muncul ke permukaan. Represi yang waktu itu dibuat tentang kecinaan dan komunisme, ditambah dengan doktrinasi film G30S, setidaknya berhasil membuat saya menghindari ideologi itu. Saya tidak pernah berani mencari tahu siapa itu Marx atau Lenin, saya menentangnya karena katanya komunis itu anti Tuhan - dan saya suka percaya sama Tuhan. I shivered at the sound of the word and dare not to say it. (Yet I befriend a fan of ideology discussion that uses the term quite a lot. Sometime life is such an irony.)

Kali kedua saya menonton film ini, saya menontonnya bersama beberapa teman di ruang teater kecil di kampus. Kali ini sudah di London. Mereka menontonnya karena ingin tahu. Saya menonton karena ingin tahu apa yang mereka pikirkan. Saat akhirnya menonton lagi - dan langsung secara utuh - saya (seperti banyak orang Indonesia lainnya) merasa tumbuh di dalam masyarakat yang barbar. Ya, film ini memang tidak mewakili bagaimana masih banyak pihak mengecam apa yang terjadi. Tapi, orang-orang ini nyata, mereka bicara tanpa pembenaran tapi dibenarkan. Rasanya hampir jadi gila. Seperti ingin menyangkal bahwa ini semua bohong, tapi itu sendiri akan jadi kebohongan.

Di Pnom Penh ada namanya Cheoung Euk Museum. Musium ini sebenarnya hanya sebidang tanah gersang dengan galian lubang berbentuk kotak tersebar di sekitar area yang di sana-sini ditanami pohon. Area itu dulu dipakai sebagai kamp konsentrasi untuk pembunuhan saat Polpot berkuasa. Lubang-lubang yang bertebaran adalah bekas untuk kuburan masal. Saya ingat sekali otak saya terus bilang, "Negara dengan sejarah gelap yang mengikat." Rasa yang sama saya lihat di Act of Killing. Hanya, kali ini saya (kita) yang jadi obyeknya.

Kali ketiga saya menonton, saya masih tidak bisa menonton secara utuh. Setiap beberapa menit, saya masih perlu keluar ruangan untuk mengurangi ketegangan saya. Di tengah diskusi malam itu selagi film berlangsung dan sesudahnya, bahkan di kamar sekecil itu, kami melihat semuanya dengan berbeda. Antara motif di balik film dan pilihan solusi yang ada. Ada yang merasa bahwa kita tidak perlu melihat ke belakang saat negara di tengah pergerakan maju, bahwa ini semua bagian dari teori konspirasi, bahwa ada intervensi asing. Beberapa, termasuk saya, merasa memang perlu ada 'pengakuan' atas apa yang terjadi.
"Pembedaan yang melupakan semua kesamaan itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa sebuah kebencian dan kekerasan massal menjadi mungkin..."
Kutipan di atas diambil dari respon Ko-Sutradara film, yang tetap bertahan menjadi Anonim, atas semua opini yang muncul. I regret that we have to get to this point in this manner, but I am glad though that we are forced to do this. I guess, we remain having the idea that apologising is a virtue of losing. I think winning whatever war that whatever party think this is should acknowledge that we, as a nation, f*cked up big time. 

Isn't the only way to move on is to make peace with the past? 

Update: A friend posted a link of how medias in China are forcing its government to take its stance on the incident happening almost four decades ago. In their words, this and the 1998 incident had proven how Indonesians (referring to government's stance as a reference to the situations) were being benighted over injustice specifically to the Chinese descendants of the country. The media in China referred the Indonesian-Chinese who suffered from both incidents as Chinese citizens. I like being connected with my Chinese descendants, I just could not relate myself when referred as a Chinese citizen. 



No comments: