1 December 2013

Bicara tentang Menulis Masa Depan



Tidak banyak yang terjadi di hari-hari pertama di kota ini. Semuanya rancu, seperti bertumpuk, saat semua hal saling mencuat dan akhirnya malah menutupi satu sama lain.

Tidak banyak yang bisa diingat saat semuanya kabur di tengah kelelahan namun masih harus terus berlari.

Di tengah keterlambatan kedatangan dan kebutuhan untuk mengejar pemahaman yang semua mahasiswa lain sudah miliki di minggu ketiga perkuliahan, saya masih terjerat dalam hal sepele: bagaimana bisa sampai ke tempat tujuan dengan efektif. Dengan segala perangkat perang yang sudah ada di tangan - aplikasi peta dan titik-titik stasiun di seluruh kota beserta waktu estimasi keberangkatan kereta - this should be easy. I've dealt with Maine.  Yang lalu terjadi adalah pencerahan pahit: bahwa Maine terjadi sepuluh tahun yang lalu dan bahwa di sana tidak ada transportasi umum. Id, dia memang selalu meracau.

Sementara semua orang menavigasikan diri dengan arah mata angin saat kenyamanan itu ada di 'belok kiri sampai mentok, lalu ketemu plang perboden, nanti kamu jalan dua lampu merah lalu masuk ke tikungan di sebelah kanan'? Pelajaran navigasi terakhir di Pulau Seribu dengan bantuan kompas di dalam laut yang berujung kekacauan dulu, tentunya bukan preseden yang baik untuk menebak akhir petualangan ini.

Saya pun hanya punya satu pertanyaan sederhana: bagaimana mereka tahu di mana utara dan selatan bila kompas tidak ada dan mereka masih baru tiba? "Kalau kiblat ada di tenggara, kamu pasti lebih gampang memahaminya." Blah. Seperti artis yang mendapat arahan dari sutradara, saya menangis sambil menertawai diri.

Tidak banyak yang bisa diingat saat semuanya kabur di tengah kelelahan dan air mata sambil tertawa padahal masih harus terus berlari.  Dari pintu stasiun ke peron, dari peron satu ke peron yang lain, dari sana ke kampus - lalu dikali dua saat pulang; dikali tiga kalau tersasar. Tawa dan air mata berteman baik dalam kompetisi. Kadang mereka benci disandingkan, sehingga lebih baik bertentangan; kadang mereka rindu mendekat sampai akhirnya berpelukan. Semakin mereka merapat, semakin sulit mencari siapa yang sebenarnya paling membutuhkan jawaban.

Sudah 150 tahun Underground ini ada di London.  Transportasi umum di London memang terlihat keren dan mumpuni: Double Decker and Tube and the imagery they have given. But they surely are not without flaw. Double Decker pun sering mengubah jalurnya bak Kopaja kekurangan 'sewa' atau 'mengetem' karena supir giliran selanjutnya masih belum datang. Rencana jalan-jalan saya di akhir minggu harus disesuaikan dengan ketersediaan jalur tube, karena mereka harus menutup jalur untuk kebutuhan perbaikan, yang berakibat penumpukkan penumpang yang harus menunggu lama kalau tidak terlantar karena bus pengganti pun tidak sanggup menampung mereka semua. But they must have doing things right. Mereka memulai membangun landasannya 150 tahun yang lalu. Selama itu pula sistem ini tidak pernah sepenuhnya dihapus, hanya dikembangkan dari kekurangannya: menambah stasiun, menerka sistem pengaturan, mengajar pengguna. Bagaimana mungkin mereka tahu dan bisa menyampaikan sistem ini butuh dijaga dan dikembangkan? Bagaimana mungkin yang meneruskan pekerjaan ini bisa memiliki nafas pemikiran yang sama? Menggila rasanya membayangkan pemahaman mereka akan dunia hari ini, 150 tahun yang lalu. Sementara dalam banyak hal kita - sebagai bangsa - masih mencoba menarik garis sambil berharap tersambung menjadi satu jalur.

Revolusi demi masa depan mungkin seharusnya memang tidak bisa dirasakan oleh mereka yang mencipta. Masalahnya, apa kita masih mau menata dengan tahu kita akan tidak akan merasakannya? Apa kita masih mau menata bila tahu kalau kita tidak akan pernah berkuasa?

"All revolutionaries are fantasy, lunacy - until they happen, then they become history's inevitabilities." - D. Mitchell

No comments: