15 April 2010

Kelelahan Malam Ini Sedikit Melarut


Hari sudah malam. Dini hari lebih tepatnya. Dan saya sedang masuk lagi ke dalam lubang.

Hari ini di Tanjung Priok, saya kira semua orang tidak serius waktu mereka bercerita tentang adanya bentrokan – yang tadinya saya pikir sekedar bentrokan demonstrasi di Gedung MPR belakangan ini. Sekelebat tayangan di televisi waktu saya pulang kantor tadi, saya anggap sebagai bentrokan antar warga seperti yang terjadi di sekitar Pasar Rumput kadang-kadang.

Rasanya kita mulai kehilangan rasa. Rasanya semua orang mulai berhenti merasa akhir-akhir ini. Saya kehabisan kata-kata dan hanya itu yang saya ingin lakukan. Berhenti berkata-kata dan mulai merasa.

Untuk pertama kalinya, saya merasa bahwa kerusuhan di Jakarta tahun 1998 lalu, lebih masuk akal dari ini semua. Saya merasa, kalau ini terjadi kepada orang-orang Cina (maaf saya orang Cina dan maaf saya harus membawa masalah ras di sini)– kalau ini terjadi kepada orang Cina, setidaknya ini semua akan lebih mudah saya mengerti. Saya akan lebih mudah menerima fakta bahwa ada ke-tidak mengerti-an atas cara orang Cina berpikir, cara berbicara (karena aksen dan pilihan kata-kata), bertransaksi, dan berekonomi. Walaupun saya tidak pernah berharap akan terulang - kerusuhan itu menjadi sebuah proses pembelajaran yang memang perlu kita lalui. Despite the casualties, had we not been in that phase,I doubt any of us would step up to bridge the gap, untuk mendorong bangsa ini sadar bahwa kita terlalu kaya untuk dibedakan; untuk mendorong betapa kami sempat  merasa dibedakan dan akhirnya membedakan diri. Saya sedikit bersyukur sejarah itu pernah terjadi dan saya lalui, sekarang saya menjadi lebih sedikit mengerti bahwa setiap orang harus merendah agar kita meninggi. Kita, bukan kamu atau saya.

Tapi kali ini, kita sedang membunuh diri kita - membunuh rasa yang kita punya, membunuh orang-orang yang berbagi rasa bersama. Setidaknya samurai dan celurit yang ditebas, golok yang dikeluarkan, bambu dan bata yang dilembarkan, dan pukulan yang terhantam mengatakan itu. Kita, yang berbagi kepercayaan saat sembahyang, berbagi susah dan pusing saat harga sembako naik, yang berbagi mata, telinga, dan suara saat mendukung tim PSSI. Saat latar belakang budaya, agama, dan ekonomi yang sebenarnya telah kita bagi namun terseberangkan tanpa mengerti mengapa kita berhadapan.

Beberapa hari ini seorang teman sedang mengeluhkan betapa perbedaan latar belakang budaya dalam sebuah komunikasi sosial berujung kepada frustasi dalam tindakan sesepele apa pun. Pak Presiden juga sedang mengatakan itu. It’s unfortunate, karena tidak semua orang punya waktu untuk memahami dislokasi budaya yang memaksa kita untuk selalu melihat segala sesuatu dari sisi yang berlawanan. Seberapa pun kita melihat sebuah pemandangan, dari sisi yang berlawanan semuanya terlihat berbeda. Tak semua orang mau bersusah-susah untuk berpindah tempat untuk melihat bahwa apa yang terlihat dari seberang sana. Ya, memang kita butuh waktu lebih lama untuk itu, mungkin akan butuh usaha yang lebih besar, lebih banyak kesabaran, mungkin akan ada keringat, darah dan goresan; mungkin akan ada tangisan.

Akhirnya saya menangis dan mungkin ini berlebihan. Kali ini untuk rasa yang kita matikan, saat kita membunuh orang yang sekedar percaya, mengarah pada mereka yang sedang (mungkin) tidak beruntung berada di sisi yang berbeda. Seandainya Satpol PP itu sempat melepas seragamnya untuk makan singkong goreng bersama para warga mungkin mereka akan tertawa membahas tayangan Opera van Java yang semalam tayang. Atau bila mereka bertemu di antrian membeli teh di dalam botol, mereka akan sempat berbagi cerita tentang anak-anak mereka yang sedang melalui ujian nasional - betapa mereka bangga melihat anak-anak mereka yang sepertinya akan mempunyai masa depan yang lebih baik daripada hidup yang mereka jalani saat ini. Atau bahwa mereka sering bertemu dan menyapa saat berziarah ke makam yang sedang disengketakan itu, ketika sedang sujud bersama kala dzuhur.

Ya, Pak, pentungan Anda berdarah, tapi samurai kamu juga, Mas. Sama seperti bagaimana kalian sama-sama dipanggil ‘Ayah’ oleh si kecil di rumah.

Saat pengeboman terjadi pada Juli 2009 kemarin, saya bilang bahwa ketakutan yang timbul dan membuat kita kehilangan rasa dan mulai terbiasa dengan ancaman – dan bahwa itu hanya akan menjadi sebuah cambuk agar kita tetap berlari. A pad on our shoulder. Kali ini kita berhenti lagi dan melihat ternyata kita masih berlari ke arah yang berbeda – melupakan bahasa yang ternyata sama, keluarga yang ternyata sama, dan kepercayaan yang sama akan besarnya Indonesia. Kita sejenak terlupa dan mendengar teriakan orang dan berbelok.

Semua orang mulai lelah. Kita selalu berteriak dan menunjuk. Mungkin iklan teh celup itu benar, kita harus duduk dan minum teh agar kita lebih tenang untuk mencoba benar-benar berbicara dan benar-benar mendengar.

Ah, I wonder if it's because we never share what we have within us or if we never take a closer look to things that surrounds. Maybe both.

No comments: