-----------------------
Kalau kalian belum pernah mendengar tentang gerakan Indonesia Mengajar, you really should. Ini adalah:
"Sebuah inisiatif bersama untuk menggalang putra-putra terbaik bangsa untuk ikut membantu mengisi kekurangan guru berkualitas khususnya di daerah di Indonesia sekaligus menjadi wahana untuk mengembangkan jiwa kepemimpinan dan pengabdian".Mereka melakukan kunjungan ke universitas-universitas untuk mencari lulusan terbaik negeri ini, yang bersedia menerima tongkat estafet visi bangsa. Dan, ya, kampus-kampus itu masih penuh dengan mahasiswa yang pintar dan memiliki hati untuk bangsa ini. Alih-alih membawa IP mereka yang di atas rata-rata, status mereka sebagai pentolan kampus untuk melamar di perusahaan yang punya nama; mereka memilih untuk meninggalkan keluarga, serta kenyamanan hidup di kota besar, untuk ditempatkan selama satu tahun di lima wilayah terpencil yang mengalami kekurangan tenaga pengajar.
Program ini menargetkan dirinya ke audience yang tepat: mahasiswa yang baru lulus. Yang dengan kemurnian idealisme mereka diarahkan ke sebuah langkah yang sungguh nyata. Yang hasilnya -segagal apa pun kata orang nantinya - tidak mungkin terbuang sia-sia. Ini masalah pendidikan. Anak-anak yang diajarkan teman-teman saya, bersama Pengajar Muda -sebutan untuk mereka yang terpilih - lainnya, akan mendengar dunia yang lebih luas dari yang ada di dalam buku. Mereka akan mendengar cerita burung di Jakarta dan tertawa atas kebodohan kita yang tidak bisa menangkap belalang. Mereka akan belajar menulis sambung selagi ikut mengajarkan Nisa yang tidak bisa berenang, atau Patrya yang menceritakan mereka tentang permainan tenis.
Nisa dan Patrya, dua teman saya yang ada di sana, ikut menulis sejarah. Dari satu tahun penempatan mereka - yang sampai saat ini belum diketahui di mananya - masih ada penambahan dua bulan pelatihan untuk mempersiapkan kemampuan mereka untuk mengajar, beradaptasi, dan bertahan. Mengajar karena mereka akan menjadi guru, beradaptasi karena lingkungan mereka nanti tentunya akan menawarkan gegar budaya yang pastinya menyenangkan, bertahan karena lingkungan mereka nanti datang dengan segala keterbatasan yang ada. Keterbatasan air bersih, keterbatasan jangkauan sinyal telepon genggam, keterbatasan bahasa, keterbatasan alat, dan keterbatasan lainnya.
Selama dua bulan ke depan Nisa dan Patrya masih bisa dikunjungi setiap hari Minggu, masih boleh diajak bermain asal dikembalikan lagi ke camp di malam hari, masih bisa membalas comment dan nge-twit walau tidak sesering dulu. Lalu, tanggal 9 November 2010 (atau tanggal 10 ya? :p), mereka akan menuju ke lokasi penempatan mereka.
Di minggu terakhir sebelum masuk karantina, Nisa sibuk berpamitan dengan semua temannya. Dia anak kota dan punya banyak teman. Patrya, saya yakin juga melakukan hal yang sama, tentu agendanya tidak sepadat Nisa. Dan di malam terakhir, kami mengantarkan Nisa ke rumahnya yang nun jauh di Pamulang. Saya teringat saat kami mendengar Indonesia Mengajar dari mereka. Beberapa teman yang lain juga tertarik, tetapi tanggung jawab pekerjaan yang sudah terlanjur mereka terima, tuntutan keluarga dan lingkungan, tidak mengizinkan mereka berpartisipasi kali ini. Sejak awal, tidak ada keraguan bahwa teman-teman saya ini akan mendapatkan tempat di antara ke-50 Pengajar Muda. Saya ingat saat Patrya melengkapi CV-nya di tengah-tengah istirahat kepanitiaan yang sedang dipimpinnya, bagaimana dia memikirkan prestasi apa yang harus diketiknya, dan apakah prestasi bermain tenis tingkat sekolah terhitung sebagai prestasi.
Saya senang Nisa dan Patrya pergi. Saya beruntung punya teman-teman yang 'kaya' dan saya merasa terhormat bisa membagi mereka kepada sebuah dunia. Dunia yang mungkin kecil karena hanya sebuah kelas berisi segelintir anak yang sempat bersekolah dan mungkin penduduk setempat. Tetapi, saya lebih senang, karena bagi saya, apa yang mereka lakukan menunjukkan bahwa negeri ini baru bisa berlari saat Indonesia dilarikan oleh mereka yang bisa berlari. Bukan berlari dengan cepat, tapi berlari ke arah yang tepat. Bukan berlari dengan langkah yang besar, tetapi berlari dengan pandangan ke depan.
Saat Nisa menandatangani kontrak kerjanya dengan Indonesia Mengajar, dia belum bicara dengan Ibunya. Dia ragu dengan tindakannya meninggalkan semua yang dimilikinya saat ini. Tetapi tanda tangan itu langsung dia torehkan, saat membaca kalimat pertama dalam surat penerimaan dirinya dari sang pendiri, tulisnya, "Nisa yang baik,...." Rasanya lega ada masih ada yang menghargai kebaikan Nisa dan teman-teman Pengajar Muda. Rasanya lega karena masih ada orang eperti Nisa yang begitu bahagia atas hal sesederhana itu.
Saya tidak akan bertemu Nisa dan Patrya selama lebih dari setahun, tetapi sudah bukan porsi saya untuk menjadi egois. Sudah terlalu lama saya egois.
Kutipan dan informasi mengenai program disadur dari www.indonesiamengajar.org
-----------------------
About Some Friend. About Some Hope
This is a story of two friends to whom I feel extremely proud of. One day before my 24th birthday, I got the best gift a friend could ever ask. They left me, to learn and to teach.
If you haven’t heard about Indonesia Mengajar (Indonesia Teaches, red.), you really should,
The team visited universities to search the best graduates who would be willing to receive the pass on of the nation’s vision. And, yes, the campus is still packed with bright students that has a devoted heart for the country. Instead of taking their high GPAs, and honor status as student council’s or coordinator for the college board to further apply at established and well known companies; they chose to leave their family and the luxury of having everything in big cities to be assigned for one year in five different remote areas which are lacking teachers."…it’s an initiative built together to gather the best children of this nation to help dill the lack of qualified teachers, especially in Indonesia’s territory; as well as a media to develop leadership and service.”
I guess the program targeted the right audience: fresh graduates whose sincere idealism is now directed to a real action, which results - no matter how bad - would not go in vain. This is education we’re talking about. The children to whom my friends with the rest of Pengajar Muda (Young Teachers) teach, will listen to the world outside the books they read. They would hear the birds of Jakarta and laugh to our inabilities of catching crickets. They would learn to write as they teach Nisa how to swim or listen to Patrya’s stories of tennis heroes.
Nisa and Patrya are two friends of mine who took part making history. Of one year of placement – which is still under confirmation on where – they get two months of training that will help them prepare the skills to teach, adapt, and survived. To teach, because of course they are going to be teachers; to adapt for they would need to face the exciting culture shock of the new environments; to survive, as the new environment comes with all its lackness - the lack of clean water, cell phone signal, languages, tools, and God knows what.
For the next two months, Nisa and Patrya would still be available for visit every Sunday. They still can hang out with us that day, as long as we return them back to the camp at night. They still could comment and tweet, although the frequency has decreased. Then, on November 9th (or is it 10th?), they would proceed to their placement areas.
On the last week before the quarantine, Nisa had afull agenda of saying goodbyes. She’s a city girl and is surrounded by friends that she cherishes. Patrya, I’m sure also did the same thing, with less heftiness of course. We took her home, on the last night, to her far away house in Pamulang. And I reminisce the first time they talked about Indonesia Mengajar. Some other friends almost join their decision to participate, but due to the work, family, and social responsibility, they have to miss this batch’s selection. From the very first time, I have no doubt that they would get the spot in the final 50 Pengajar Muda. I remember when Patrya completed his online application in the midst of leading an orientation committee, we discussed on whether or not he put his gold medal in the college tennis competition and consider it as an achievement. It's something that he was proud of, and we thought and achievement should be self defined, thus we put that in.
I’m glad Nisa and Patrya got to go. I am fortunate to have such enriching friends and I feel privileged and honored to share them with the world. A small world, as it only consists of some table, tools, and a couple children who have the time to spare for school, and perhaps a bit of local residents. I am gladder for having them there. For me, they’re doing what it means to have Indonesia run. This country could only run when it is ran by those who can run. Not by them who can run fast, but them who can run right – the right direction. Not by them with large steps, but by them who look forward as they step.
As Nisa signed her contract with Indonesia Mengajar, she hasn’t consulted with her Mom. She had doubts, because signing means living all what she had. Nevertheless, she signed it anyway. All because of one sentence that started her acceptance letter, wrote by the Initiator of the program. He said, “Dear kind-hearted Nisa,…”It felt good knowing somebody appreciate the Pengajar Muda’s kind-heartedness. It felt good knowing somebody felt the honor and such happiness to be appreciated over a simple manner.
I would not be able to meet Nisa and Patrya for more than one year, but it’s not my portion to be selfish on this matter. I’ve been selfish for way too long.
Quotes and information on the program is taken from www.indonesiamengajar.org
No comments:
Post a Comment