30 March 2010

we harrassed people every step of the way.

Ah, hari ini dimulai dengan sedikit menyebalkan. Maaf saya jadi berkeluh kesah di sini, karena sebenarnya sedang tidak ada wacana berkeluh kesah lainnya. Kalau nelepon orang lain, kesannya akan minta dikasihani, padahal ngga. Kalau nelepon orang rumah, mereka akan panik duluan, terus saya jadi merasa bersalah. Mau nulis di buku muka, kesannya malah kayak press conference, mana Facebooknya di-blok sama kantor *sigh. Mau ke Twitter, nasibnya idem sama Facebook. Mau nelepon orang yang pengen ditelepon, yah, jangan harap. Itu sudah jadi keinginan tak tersampaikan sejak dua tahun yang lalu. Si jurnal yang biasanya jadi tumpahan semua sampah saya - ada di rumah. Dia memang ngga pernah saya bawa ke mana-mana. Confidential tingkat tinggi. I would kill my self if anyone reads it. *lagian si jurnal emang bukan barang bawaan, jadi mana mungkin dia ada di kantor pagi-pagi begini.

Iya, masih pagi. Jam delapan lewat dua puluh tepatnya. Saya gulana dan kehilangan mood kerja karena saya nyerempet orang tadi pagi. Nyerempet orang yang bodohnya adalah hasil dari ketidaksabaran saya nungguin mas-mas yang maen muter balik *wait, bukan muter balik, tapi belok terus lurus nyebrangin jalan* di Jalan Raya Pejompongan. Biasanya saya sabar sama masalah-masalah seperti ini. I still ride motorcycles with my dad, so I get the idea of your flexibility, oh dearest drivers. Tapi, saya memang suka gregetan kalau misalnya motor-motor ini mulai merusak, merusak pembatas jalan sekedar biar bisa mutar, naik ke jembatan penyebrangansoalnya puterannya jauh, maksain nyelip di antara mobil, padahal udah tau motornya gendut. I yelled at my father if he ever do one of those things yang dilakukan oleh motoris ngga bertangung jawab lainnya. Enak aja, saya ngga mau disamain sama mereka.

Jadi, pagi ini, ada mas-mas bermotor dan berboncengan yang sedang berusaha memutar di "putaran paksa" (pelanggaran #1) di Pejompongan. Sepertinya mereka nyangkut, sampai temen mas-masnya yang tidak berhelm itu (pelanggaran #2 dan #3, karena mereka berdua) berusaha untuk melepaskan diri dari jebakan sangkutan itu (*doh). Jadi mereka udah setengah jalan. Bagian depan roda masuk ke lubang dan mereka ngga bisa keluar. Mas-mas pengendara motor lain yang juga pengen muter akhirnya kelamaan nunggu jadi jalan ke depan - buat muter di "puteran paksa" yang jaraknya dua meter di depan. *sigh.

Ketika akhirnya mereka lepas dari sangkutan, ternyata mereka ngga mau muter balik, tapi mau lurus nyebrangin jalan ke kios-kios cermin yang ada di sebelah kiri jalan. *sigh, PR berat. Mungkin karena jalannya ramai, dan area itu memang bukan area buat muter balik, mobil-mobil di jalur kedua slonong boy aja di area situ. Pun kalau ada kemacetan, they would excpect the plug would only occur in the right lane, rather than theirs. Jadi, waktu si mas-mas ini akhirnya masuk di jalur kedua mereka lama banget jalannya. Dan rasanya karena saya setengah ngantuk, setengah males nungguin mas-mas yang udah seenaknya aja di jalan (rasanya, kalo memungkinkan dan ngga bikin mereka kehilangan nyawa, mereka mungkin akan guling-guling juga di jalan). Begitu ujung pantat motor mereka sepertinya sudah masuk semua ke jalur tengah, saya pun banting kanan untuk mendahului pantat motor mereka agar bisa meneruskan perjalanan. But, bad calculation. Sepertinya saya menyenggol(apa yang saya kira) ban mereka. Mas pengemudi terlihat seperti mau jatuh, mas boncengan (yang sudah ngga lagi dibonceng) melotot ke saya.

Karena ngantuk, saya ngeliat dia dan lanjut terus. Jadi kesannya karena saya ngeliatin dia balik. Tapi emang, hebatnya si Klaapentaar (mobil saya, red.) saya bahkan ngga nyadar kalo mobil saya nyenggol sesuatu. Saya baru tahu bahwa kayaknya saya nyenggol motor mereka, karena mas-mas di depan ngejaga keseimbangan biar ga jatuh. Dan saya masih mikir kalau yang saya senggol itu adalah ban mereka.

Sampai di kantor, saya baru periksa dan menemukan luka codet panjang di depan mukanya si Klaapen. Catnya terkelupas. *sigh #1. Ada lecet warna orange dari motor mereka. *sigh #2. Dua-duanya lumayan panjang. *sigh #3. Dan sepertinya saya harus menunggu bulan Juni untuk memperbaiki itu semua. *sigh #4.

Saya jadi ingat cerita teman saya, waktu kami berkunjung ke Ho Chi Minh. She wrote a great piece on this. If you thought our traffic is crazy, wait till you go there. Everyone there admitted that the those motorcycles were an inavoidable and inseparable part of their culture. Yes, with 2 motorcyles per household, it's impossible not to get crash or almost hit pedestrians (or tourists), yet everyone seems to be fully aware that it's all parties agenda to ensure you are not harrassing anyone's rights even if you go up to the sidewalks to drive along. Ah, even if there's any infringement, no one seems to mind as no one feels harrassed by it.

I detest what happen today and slightly wish there were no motorcyclists. But, I grew up riding one, so let me put it as, I wish there would be no 'ugal-ugalan' motorcyclist that constantly infringe any law or rule that man could made just to make the road a slightly better place to be. Ah, we grow up in a country where flexibility and compromising nurtured us. But once your choice of being flexible hinder and harrased other people in doing so. I guess we better think twice on what we do. Thus is why law exist, to keep people's right from getting harrassed at all.

Klaapentaart's scratch would be mend in June and I would meet my mom to tell what happen. And she would freak out and not let me drive in some days ahead, but that would be fine. It's been a while that I dread for some coffee in Glodok and driving there is not a good idea.

No comments: